بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
RUMAH KITA- Cak Nun
Kita bukan penduduk bumi,
kita adalah penduduk syurga.
Kita tidak berasal dari bumi,
tapi kita berasal dari syurga.
Maka carilah bekal untuk kembali ke rumah,
kembali ke kampung halaman.
Dunia bukan rumah kita, maka jangan cari kesenangan dunia.
Kita hanya pejalan kaki, dalam perjalanan kembali kerumahnya.
Bukankah mereka yang sedang dalam perjalanan pulang selalu mengingat rumahnya, dan mereka mencari buah tangan untuk kekasih hatinya, yang menunggu di rumah ?
Lantas, apa yang kita bawa untuk penghuni rumah kita, Rabb yang mulia ?
Dia hanya meminta amal sholeh dan keimanan, serta rasa rindu padaNya yang menanti di rumah.
Begitu beratkah memenuhi harapanNya ?
Kita tidak berasal dari bumi,
kita adalah penduduk syurga.
Rumah kita jauh lebih Indah di sana.
Kenikmatannya tiada terlukiskan,
dihuni oleh orang-orang yang mencintai kita.
Ada istri sholeha serta tetangga, dan kerabat yang menyejukkan hati.
Mereka rindu kehadiran kita,
setiap saat menatap menanti kedatangan kita.
Mereka menanti kabar baik dari Malaikat Izrail.
Kapan Keluarga mereka akan pulang ?
Ikutilah peta (Al Qur’an) yang Allah titipkan, sebagai pedoman perjalanan.
Jangan sampai salah arah, dan berbelok ke rumah iblis Laknatullah, yaitu neraka.
Kita bukan penduduk bumi,
kita penduduk syurga.
Bumi hanyalah perjalanan.
Kembalilah ke rumah.
Apa Guna - Wiji Thukul
Apa gunanya punya ilmu tinggi
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa gunanya banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu
Di mana-mana moncong senjata
berdiri gagah
kongkalikong
Dengan kaum cukong
Di desa-desa rakyat dipaksa
Menjual tanah
Tapi, tapi, tapi, tapi
Dengan harga murah
Apa gunanya punya ilmu tinggi
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa gunanya banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu
Apa gunanya punya ilmu tinggi
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa gunanya banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu
Di mana-mana moncong senjata
berdiri gagah
kongkalikong
Dengan kaum cukong
Di desa-desa rakyat dipaksa
Menjual tanah
Tapi, tapi, tapi, tapi
Dengan harga murah
Apa gunanya punya ilmu tinggi
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa gunanya banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu
Sajak Suara – Wiji Thukul
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu : pemberontakkan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang merayakan hartamu
ia ingin bicara
mengapa kaukokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ia yang mengajari aku untuk bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu : pemberontakkan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang merayakan hartamu
ia ingin bicara
mengapa kaukokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ia yang mengajari aku untuk bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
Apa Yang Berharga Dari Puisiku- Wiji Thukul
apa yang berharga dari puisiku
kalau adikku tak berangkat sekolah
karena belum membayar SPP
apa yang berharga dari puisiku
kalau becak bapakku tiba-tiba rusak
jika nasi harus dibeli dengan uang
jika kami harus makan
dan jika yang dimakan tidak ada?
apa yang berharga dari puisiku
kalau bapak bertengkar dengan ibu
ibu menyalahkan bapak
padahal becak-becak terdesak oleh bis kota
kalau bis kota lebih murah siapa yang salah?
apa yang berharga dari puisiku
kalau ibu dijiret utang
kalau tetangga dijiret utang?
apa yang berharga dari puisiku
kalau kami terdesak mendirikan rumah
di tanah-tanah pinggir selokan
sementara harga tanah semakin mahal
kami tak mampu membeli
salah siapa kalau kami tak mampu beli tanah?
apa yang berharga dari puisiku
kalau orang sakit mati di rumah
karena rumah sakit yang mahal
apa yang berharga dari puisiku
kalau yang kutulis makan waktu berbulan-bulan
apa yang bisa kuberikan dalam kemiskinan yang menjiret kami?
apa yang telah kuberikan
kalau penonton baca puisi memberi keplokan
apa yang telah kuberikan
apa yang telah kuberikan?
semarang, 6 maret 86
apa yang berharga dari puisiku
kalau adikku tak berangkat sekolah
karena belum membayar SPP
apa yang berharga dari puisiku
kalau becak bapakku tiba-tiba rusak
jika nasi harus dibeli dengan uang
jika kami harus makan
dan jika yang dimakan tidak ada?
apa yang berharga dari puisiku
kalau bapak bertengkar dengan ibu
ibu menyalahkan bapak
padahal becak-becak terdesak oleh bis kota
kalau bis kota lebih murah siapa yang salah?
apa yang berharga dari puisiku
kalau ibu dijiret utang
kalau tetangga dijiret utang?
apa yang berharga dari puisiku
kalau kami terdesak mendirikan rumah
di tanah-tanah pinggir selokan
sementara harga tanah semakin mahal
kami tak mampu membeli
salah siapa kalau kami tak mampu beli tanah?
apa yang berharga dari puisiku
kalau orang sakit mati di rumah
karena rumah sakit yang mahal
apa yang berharga dari puisiku
kalau yang kutulis makan waktu berbulan-bulan
apa yang bisa kuberikan dalam kemiskinan yang menjiret kami?
apa yang telah kuberikan
kalau penonton baca puisi memberi keplokan
apa yang telah kuberikan
apa yang telah kuberikan?
semarang, 6 maret 86
|
|
"KAPAN SEKOLAH KAMI LEBIH BAIK DARI KANDANG AYAM"
Oleh : Prof. Winarno Surahman
“Tanpa sebuah kepalsuan, guru artinya ibadah.
Tanpa sebuah kemunafikan,
Semua guru berikrar mengabdi kemanusiaan.
Tetapi dunianya ternyata tuli. Setuli batu.
Tidak berhati.
Otonominya, kompetensinya, profesinya
hanya sepuhan pembungkus rasa getir,
”Bolehkan kami bertanya,
apakah artinya bertugas mulia
ketika kami hanya terpinggirkan
tanpa ditanya, tanpa disapa?
Kapan sekolah kami lebih baik dari
kandang ayam?
Kapan pengetahuan kami bukan ilmu kadaluarsa?
Mungkinkah berharap
yang terbaik dalam kondisi yang terburuk?"
”Ketika semua orang menangis,
kenapa kami harus tetap tertawa?
Kenapa ketika orang kekenyangan,
kami harus tetap kelaparan?
Bolehkah kami bermimpi di dengar
ketika berbicara?
Dihargai layaknya manusia?
Tidak dihalau ketika bertanya?
Tidak mungkin berharap
dalam kondisi terburuk,”
“Sejuta batu nisan
guru tua yang terlupakan oleh sejarah.
Terbaca torehan darah kering:
Di sini berbaring seorang guru
semampu membaca buku usang
sambil belajar menahan lapar.
Hidup sebulan dengan gaji sehari.
Itulah nisan tua sejuta
guru tua yang terlupakan oleh sejarah. ”
JIKA AKU
Jika aku belum bisa memberikan manfaat,
setidaknya aku bukan beban bagi orang lain
Jika aku belum bisa menyeru kepada yang ma’ruf
setidaknya aku menghindari kemungkaran
Jika aku belum bisa berbuat untuk diriku sendiri
setidaknya aku melakukannya untuk orang-orang yang mencintaiku
Jika aku belum bisa menjadi orang yang membanggakan
setidaknya aku bukanlah orang yang mengecewakan
Jika aku belum bisa mencintai orang lain seperti diriku sendiri
setidaknya aku jauh dari perasaan benci terhadap mereka
Ya Allah, bantulah aku untuk menjadi lebih baik……..
(Sumber : Cahayanya Diriku)
setidaknya aku bukan beban bagi orang lain
Jika aku belum bisa menyeru kepada yang ma’ruf
setidaknya aku menghindari kemungkaran
Jika aku belum bisa berbuat untuk diriku sendiri
setidaknya aku melakukannya untuk orang-orang yang mencintaiku
Jika aku belum bisa menjadi orang yang membanggakan
setidaknya aku bukanlah orang yang mengecewakan
Jika aku belum bisa mencintai orang lain seperti diriku sendiri
setidaknya aku jauh dari perasaan benci terhadap mereka
Ya Allah, bantulah aku untuk menjadi lebih baik……..
(Sumber : Cahayanya Diriku)
MAWAR UNGU
sekuntum mawar ungu mekar dalam belenggu
nuraninya rindu pada langit biru
tapi tak mampu putuskan belenggu
dia coba tuk slalu tertawa
air mata disimpan di dada
karena cinta hanya sebatas angan saja
nuraninya terbelenggu norma
kadang dia bertanya pada angin malam
kenapa semua mesti begini
kadang dia bertanya pada matahari
kenapa dia mekar disini
nuraninya terbelenggu norma
tapi matahari diam
angin malam diam
belenggu juga diam
sementara nuraninya tetap bertanya
( Sumber : Cahayanya Diriku )
SEJENAK KE ALAM RUMAH TANGGA
Kata pujangga
perempuan bagaikan angin
lembutnya melenakan
ributnya menggusarkan.
Adakalanya mereka seperti ibu
menyaji kasih, menghidang sayang
adakalanya mereka seperti anak
ingin dibelai, minta dimanjakan
adakalanya mereka seperti nenek
berleter seadanya, merungut semahuannya.Namun,
teman kembara dalam kehidupan yang sementara ini.
bahagia dan derita kita sangat berkait dengan mereka.
Puuuh…Akan tiba masanya bila ‘isteri’ di hati tapi kurang di mata
usia meningkat kecantikan tergugat
dulu yang kita lihat mulus kini beransur pupus
betis, tidak lagi bunting padi
pipi, bukan lagi pauh dilayang
apakah dengan itu akan berkurang cinta kita ?
jika berkurang, nyatalah cinta kita
selama ini cinta di mata bertapak di body
tapi jika cinta tetap kekal malah semakin bertambah
ertinya cinta kita di hati, berpasak di budi.
itulah cinta sejati.
Namun tidak salah
di samping menyanjung budi,
kita merampingkan ‘body’
kalau ada kesempatan
ajaklah dia bersenam, amalkan puasa sunat
tapi ingat niat kerana Tuhan
bukan kerana ingin kuruskan badan
tapi Tuhan Maha Penyayang
Dia pasti membantu isteri yang memburu keredhaan suami
tak salah kalau mohon kesihatan, kecantikan dan kecergasan
sama-samalah merampinkan badan yang terlebih dikurangkan
jangan sesekali mencemuh apalagi menjauh
apa gunanya membandingkan isteri dengan perawan.
Bukan masanya lagi merenung dara
tapi kini saat menghitung dosa
lalu ajaklah isteri sama-sama menambah bakti
moga-moga cinta kita kekal ke hujung usia
di dunia ini dan di akhirat nanti
itulah yang dikatakan
hidup berdua, ‘selepas’ mati pun bersama.
(sumber: Malia Mam, Kuala Lumpur - Malaysia)
SAJAK ORANG MISKIN
Oleh: Ws Rendra
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang
selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim.
Djogja, 4 Februari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi